Pantaskah Sekularisme Kita Terima?

Label:

Sekularisme sebagai sebuah ideologi yang sekarang ini begitu mewabah sebenarnya telah lama hidup di bumi ini. Pada abad pertengahan yang disebut sebagai zaman kegelapan Eropa, negara-negara di Eropa disetir oleh kaum agamawan (para pendeta dan pastur) yang berkuasa dengan mengatasnamakan Tuhan. Sebelum abad ke-13, hanya pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan, kultur serta prestise tertinggi bahkan para pengurus gereja dan biara tinggi kebanyakan juga adalah para bangsawan dan tuan tanah.

Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja semuanya ditentang bahkan diberangus dengan alasan “pembasmian terhadap heretik (bid’ah)”. Banyak tokoh yang mati dibunuh karena penemuannya bertentangan dengan ajaran yang dibawa pihak gereja, Galileo contohnya. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan bagian bumi lain pada masa itu, yaitu bagian yang dikuasai Daulah Islam. Negara tersebut sangat maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban.

Berdasarkan berbagai fakta diatas, banyak kaum cendekiawan pada masa itu yang menganggap bahwa terpuruknya Eropa adalah karena dominannya kekuasaan gereja dalam urusan kehidupan mereka. Sehingga banyak bermunculan para kaum rasionalis yang berusaha menentang dominasi gereja dengan cara melakukan berbagai protes terhadap kebijakan feodal gereja, serta arogansi para pendeta. Inilah awal berdirinya sekularisme.

Pada abad ke-16 terjadi kesepakatan antara kaum gerejawan dan cendekiawan. Abad ini disebut sebagai babak kelahiran baru (renaissance) Eropa sejak berakhirnya masa kejayaan Yunani. Dominasi gereja berhasil diruntuhkan dan hanya diberi lahan yang sempit yaitu di ranah privat. Otoritas agama (gereja) dipisahkan dari urusan negara. Kaum gerejawan hanya dibolehkan untuk berada di kawasan spiritual tanpa boleh ikut mencampuri urusan politik.

Periode renaissance –dengan semangat menolak religiusitas– telah menimbulkan reaksi yang sangat hebat dan berantai. Hampir di seluruh kehidupan terjadi perubahan radikal dan menimbulkan efek contagion (penularan). Munculnya teolog-teolog yang mengemukakan ide-ide liberal dengan ciri khasnya yaitu berusaha menempatkan agama di wilayah privat serta membebaskan dunia dari agnostisisme intelektual. Agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang realita terakhir. Tidak hanya sampai disitu, kaum filosof mulai mengemukakan gagasan sekularisme dengan mainframe isu “kematian Tuhan”, rasionalisme, dan keadilan. Peradaban yang antroposentris (berpusat pada manusia), materialisme, humanisme, eksistensialisme, rasionalisme, pragmatisme dan sebagainya merupakan dampak susulan dari proses sekularisasi pada abad pertengahan.

Di bidang pemerintahan, lahirlah paham demokrasi, yang bertujuan untuk membatasi wewenang absolut raja. Menurut paham ini kekuasaan dan kebenaran adalah milik mayoritas. Munculnya trias politika yang sangat terkenal dengan pembagian kekuasaan negara dalam tiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif juga berasal dari paham demokrasi.

Di bidang ekonomi, sekularisme melahirkan kapitalisme. Memang, percepatan pertumbuhan ekonomi yang diperlihatkan oleh sistem kapitalis sangat mengagumkan, namun dilihat dari sisi distribusi, prestasi kapitalis dalam menimbulkan kesenjangan ekonomi ‘lebih mengagumkan’ lagi. Efek depedensia (kebergantungan) akibat diterapkan sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa dihindarkan. Kekayaan akan terus mengalir dan tersedot ke arah negara-negara kapitalis raksasa serta para pemilik modal.

Dalam perkembangannya, sekularisme tidak hanya berkembang di kawasan Eropa dan Amerika yang notabene sebagian besar dihuni oleh non Muslim, tetapi sekularisme juga ikut dipaksakan di negeri-negeri kaum Muslimin. Contoh sekularisasi yang paling nyata adalah Turki. Sejak runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada tahun 1924, di Turki telah terjadi proses sekularisasi secara besar-besaran. Sejak dihapuskannya sistem Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924, Kementrian Syariah dan Wakaf dihapuskan. Kemudian, jabatan Syaikhul Islam dihapuskan dan semua sekolah keagamaan ditutup. Pada tahun 1925, penguasa sekuler Turki mengeluarkan sebuah keputusan yang berisikan larangan memakai pakaian agama oleh orang yang tidak memegang jabatan keagamaan. Pada tanggal 4 Oktober 1926 mulai diberlakukan undang-undang sipil Turki yang diadopsi dari undang-undang sipil Swiss, undang-undang ini digunakan untuk mengganti undang-undang sipil dari syariah. Poligami dilarang. Perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki kafir dibolehkan. Semua orang yang sudah dewasa diberi hak untuk mengubah agama mereka, bila mereka mau. Pada tahun 1928, dikeluarkan peraturan wajibnya menggunakan tulisan latin bagi bangsa Turki. Pada tahun 1932 dikeluarkan peraturan yang lebih mengerikan yaitu azan harus menggunakan bahasa Turki, dan diteruskan oleh peraturan yang menyatakan azan dengan bahasa Arab adalah sebuah pelanggaran pada tahun 1933.

Tidak jauh berbeda dengan Turki, di negeri-negeri Islam lain juga diberlakukan sekularisasi. Hukum-hukum publik Islam, mulai hukum pidana, perdata, pendidikan, pergaulan, waris dan lain-lain telah dihapus dari hukum negara. Walaupun ada sebagian negeri Islam yang masih menggunakan sistem pidana Islam, dalam aspek-aspek publik lainnya mereka masih menggunakan aturan-aturan Barat.

Setelah sekularisme mewabah di negeri-negeri kaum Muslimin, bukan kemajuan dan kebangkitan yang didapat, malah mereka semakin lemah dan terpuruk. Keberagamaan hanya direfleksikan dalam wilayah privat, tanpa menyentuh ruang publik. Dari sisi politik, mereka dikuasai dan tidak berdaya menghadapi kekuatan kaum kafir. Singkat kata, sekularisme telah menghancur leburkan kekuatan kaum Muslimin. Sekarang, masihkah kita berharap terhadap sekularisme?

Jika sebuah ide telah begitu menggurita, maka pasti akan sangat sulit untuk melepaskan belenggu tersebut darinya. Apalagi umat Islam sudah sangat suka dengan tata kehidupan yang sangat sekularistik tersebut. Sebaliknya, mereka sangat takut bila tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini diatur oleh syariat Islam. Mereka beranggapan syariat Islam sudah tidak relevan lagi untuk kondisi masyarakat nasional dan internasional saat ini, yang sudah semakin maju, modern, majemuk dan pluralis. Mereka khawatir, jika syariat Islam diterapkan akan muncul konflik baru, terjadinya disintegrasi bangsa, pelanggaran HAM, dan mengganggu kerukunan antar umat beragama.

Untuk menjawab kekhawatiran mereka, ada dua hal yang bisa dikemukakan. Yang pertama adalah fakta historis, bahwa ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah pada zaman Nabi dan pada masa kekhilafahan, umat Islam menjadi umat yang terdepan. Keunggulan syariat Islam pada masa itu benar-benar nyata dan hal itu berlangsung selama berabad-abad. Dan yang hidup di dalam naungan syariat Islam tersebut bukan hanya umat Islam, tetapi juga banyak yang non Muslim (kafir dzimmi), dan mereka mendapatkan hak yang sama dengan kaum Muslimin (Silakan baca semua literatur yang menceritakan kehidupan Islam pada zaman Nabi dan kekhilafahan).

Hal kedua dan yang paling penting untuk dikemukakan adalah dalil al-Qur’an. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Q.S. al-Baqarah: 208). “Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah dari apa yang kalian perbuat” (Q.S. al-Baqarah: 85).

Dua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah mengharamkan sekularisme dan mengancam dengan siksa yang pedih bagi penganutnya. Sekularisme pada ayat diatas tampak dari ungkapan ‘mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya’. Hal ini terlihat dari penganut paham ini, mereka hanya mengimani dan melaksanakan syariat Islam yang mengatur masalah individu dengan Tuhannya sedangkan masalah yang berkaitan dengan ranah publik tidak mereka imani atau laksanakan.

Sekularisme pantas muncul dan berkembang di Eropa, karena agama Kristen yang mereka anut memang tak punya aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan perlu aturan baru yang tidak berasal dari agama tersebut. Agama Kristen pantas diletakkan hanya di wilayah privat individu penganutnya, dan tidak digunakan di wilayah publik. Para pendeta dan pastur memang layak hanya berbicara di gereja dan dilarang membicarakan masalah politik, sosial dan ekonomi dan masalah keduniawian lainnya.

Akan tetapi, hal itu menjadi keliru bila diterapkan pada Islam. Islam tidak seperti agama lainnya, Islam merupakan dien yang komprehensif, mengatur seluruh urusan manusia, baik urusannya dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia. Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah, tapi juga muamalah termasuk ekonomi, sosial, budaya dan politik. Islam merupakan sebuah mabda (ideologi) yang menjadi way of life bagi pemeluknya.

Sekarang, sebagai umat Islam, pantaskah kita menerima sekularisme dan meninggalkan dien kita sendiri? Kita sendirilah yang bisa menjawabnya.

Banjarmasin, 1 Agustus 2007
Muhammad Abduh
1 komentar:

Mengadopsi dan menerapkan sekularisme dalam islam
adalah sebuah bentuk pengkhianatan terbesar terhadap jati diri ke'muslim'an kita.
Apalagi kalau sampai sangat getol utntuk memperjuangkan tetap eksisnya sekularisme.
Dan akan jauh lebih besar lagi dosanya, kalau sekularisme dipertahankan pada tatanan negara.
Tidak pantas seorang muslim hidup dalam negara sekuler.
Akan tetapi bukan berarti dia harus meninggalkan negara itu. N
Namun, hal yang harus dilakukannya adalah RUBAH lah negara tersebut
menjadi negara yang tidak sekuler dengan menerapkan ISLAM secara kaffah.
Dan itulah bangunan DAULAH KHILAFAH ISLAMIYAH.


Followers


Labels

Recent Posts

Recent Comments

Recent Comments