Mahasiswa, Reformasi dan Bangkitnya sebuah Ideologi

Kamis, November 27, 2008

Sudah 10 tahun era reformasi berjalan. Sudah banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dibandingkan dengan masa sebelumnya. Perubahan yang menurut sebagian kalangan merupakan keberhasilan para pejuang reformasi dalam memperbaiki kehidupan bangsa ini, walaupun menurut sebagian kalangan lain perubahan yang terjadi tidak benar-benar tepat sasaran ke permasalahan utama bangsa ini malahan perubahan yang terjadi semakin membuat Indonesia terpuruk.

Kebebasan pers yang kebablasan, Pemujaan terhadap HAM yang keterlaluan sampai terjadi pembelaan terhadap berbagai ajaran sesat dan penyimpangan sosial dan susila dengan alasan HAM, merebaknya pornografi dan pornoaksi, kebebasan berekspresi tanpa batas serta semakin jelasnya intervensi asing terhadap bangsa ini dengan banyaknya RUU pesanan Barat dan semakin gencarnya privatisasi aset-aset bangsa adalah contoh hasil buruk dari reformasi.

Tapi, yang pasti adalah reformasi menghasilkan sesuatu yaitu perubahan. Perubahan memang sebuah keniscayaan bagi bangsa yang lebih dari setengah abad merdeka ini tapi belum menghasilkan suatu kebanggaan apapun selain kebanggaan semu. Dan secara fakta, reformasi digerakkan oleh mahasiswa. Anggota masyarakat yang selama ini dikenal sebagai agent of change.

Mahasiswa, atau pemuda secara umum merupakan tumpuan dan motor dari hampir setiap episode perubahan tatanan masyarakat dalam sejarah dunia. Mundurnya Soekarno dan lengser keprabonnya Soeharto, tanpa menafikan keterlibatan pihak lain, dimotori oleh gerakan massif mahasiswa. Gerakan kemerdekaan Indonesia dan berbagai revolusi di dunia juga digerakkan oleh kaum muda. Bahkan, babak perubahan tatanan dunia terbesar sepanjang sejarah manusia, hijrahnya Muhammad SAW dan para pengikutnya ke Madinah, digerakkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang rata-rata berusia muda. Pemudalah pelopor dan pendorong serta garda terdepan dalam setiap perubahan tatanan masyarakat.

Mahasiswa, sebagai bagian dari pemuda yang sekaligus mengusung status istimewa karena dianggap memiliki kelebihan dari sisi intelektualitas, daya kritis dan idealisme, adalah potensi terbesar bagi terjadinya perubahan bangsa ini ke keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang. Bahwa sejak era reformasi telah banyak terjadi perubahan dalam tubuh negeri ini adalah sebuah fakta, tapi bahwa perubahan-perubahan tersebut lebih banyak tidak tepat sasaran dan malah semakin membawa bangsa ini ke jurang kehancuran adalah juga sebuah kebenaran yang tidak bisa ditutup-tutupi. Sehingga wajar kalau kita katakan bahwa tugas mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan belum usai bahkan boleh dikatakan baru dimulai. Wajar juga kalau kita katakan bukan saatnya bagi mahasiswa sekarang untuk santai-santai dan hanya sibuk dengan tugas kuliahnya tanpa peduli terhadap nasib bangsa. Sudah saatnya perjuangan demi terciptanya perubahan seperti era ’66 dan ’98 kita kumandangkan lagi bahkan harus lebih bersifat fundamental dan radikal.

Tampaknya kita harus sepakat bahwa permasalahan yang menimpa negeri kita yang tercinta ini begitu kompleks dan sistemik. Kita juga harus sepakat bahwa penyelesaian permasalahan bangsa ini tidak bisa dilakukan secara parsial. Harus ada perubahan yang sangat mendasar dan benar-benar menyentuh akar masalah yang melilit bangsa besar ini. Harus ada perubahan besar-besaran yang lebih dari sekedar reformasi. Harus ada revolusi.

Mencermati perjalanan panjang bangsa ini sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang boleh dikatakan kita telah pernah terpengaruh oleh dua kutub ideologi penguasa dunia. Era Soekarno, banyak fakta yang menunjukkan bahwa sang penguasa saat itu condong ke Komunis. Begitu eratnya hubungan Presiden Soekarno dengan para petinggi Uni Soviet dan China yang mengusung ideologi komunisme salah satu buktinya. Dianakemaskannya Partai Komunis Indonesia (PKI) bukti yang lain. Saat itu, Indonesia begitu disegani karena berani bersikap tidak tunduk kepada Amerika Serikat, pemimpin negara-negara kapitalis. Suatu kebanggaan sekaligus ironi karena ternyata Indonesia malah dekat dengan negara-negara sosialis komunis. Pemikiran Soekarno yang bernuansa nasionalis kiri yang condong kepada sosialis komunis semakin mengindikasikan bahwa negara ini diarahkan untuk mengusung ideologi komunisme.

Era Soeharto, kebijakan politik luar negeri Indonesia berubah drastis. PKI yang merupakan corong komunis di Indonesia diberangus. Tokoh-tokohnya ditangkapi dan sebagian dibunuh. Hubungan Indonesia – Amerika Serikat menjadi mesra. Perusahaan-perusahaan asing milik AS dipersilakan masuk ke Indonesia dan mengeksploitasi sumber daya alam milik negeri ini. PT Freeport salah satu contohnya. Pemerintahan Soeharto yang dijalankan dengan tangan besi sesuai dengan latar belakangnya yang militer ternyata hanya jago kandang. Indonesia begitu lembek dan terkesan manut dengan keinginan barat terutama AS.

Era reformasi yang menjanjikan perubahan, ternyata kondisinya lebih parah lagi. Kita begitu saja menerima berbagai skenario Amerika dan kroni-kroninya. Hasilnya, Timor Timur lepas dari tangan ibu pertiwi, eksploitasi SDA semakin merajalela tanpa ada hasil yang berarti bagi anak negeri, kasus Sipadan-Ligitan dan Ambalat semakin mencabik-cabik kedaulatan negara ini, berbagai aturan perundang-undangan yang merupakan pesanan asing, seperti UU Migas, UU Penanaman Modal, dan UU Sisdiknas begitu mudah lolos di DPR yang ternyata tidak benar-benar mewakili rakyat, privatisasi BUMN yang gila-gilaan serta terjebaknya Indonesia dalam skenario ekonomi global yang menyebabkan Indonesia berpotensi mengalami krisis ekonomi jilid II yang cenderung lebih besar dari tahun 1997.

Indonesia pernah dikuasai oleh ideologi komunisme dan hasilnya adalah kerusakan bagi bangsa ini. Indonesia juga pernah dan sedang dikuasai oleh ideologi kapitalisme yang telah membawa kerusakan di berbagai sendi kehidupan bangsa ini dan jika dibiarkan kemungkinan besar Indonesia hanya tinggal sejarah dan akan tercatat sebagai negara yang kolaps dan tidak pernah punya bargaining di percaturan politik dunia.

Indonesia butuh ideologi alternatif, ideologi yang secara konsep benar-benar punya aturan tentang penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara bukan seperti Pancasila yang merupakan ideologi semu dan bahkan tak punya warna sedikitpun. Indonesia butuh ideologi yang dulu pernah menguasai dunia, ideologi yang pernah mensejahterakan masyarakatnya, ideologi yang menjadikan penganutnya menjadi sangat disegani oleh lawan-lawannya. Ideologi Islam.

Ideologi yang ada di dunia sekarang hanyalah tiga ideologi. Komunisme yang telah runtuh dan tak akan pernah bisa bangkit lagi. Kapitalisme yang sekarang menguasai dunia tapi cenderung mengalami kebobrokan dari dalam dan kita tinggal menunggu waktu kehancurannya. Dan yang terakhir adalah Islam, ideologi yang secara fakta paling lama menguasai dunia, 13 abad, dan secara fakta juga keruntuhan negara yang menganut ideologi ini adalah ketika ideologi Islam dicampur adukkan dengan aturan dari ideologi lain dan akhirnya ideologi Islam benar-benar ditinggalkan.

Hanya negara yang mengusung satu ideologi tertentu saja lah yang akan unggul dan menguasai dunia. Uni Soviet menguasai dunia dengan komunismenya. Inggris dulu dan Amerika Serikat sekarang menguasai dunia dengan kapitalismenya. Dan Indonesia, jika ingin berubah menjadi bangsa yang unggul dan pemimpin dunia haruslah mengambil salah satu ideologi tersebut. Bukan komunisme dan kapitalisme yang terbukti menyebabkan kerusakan tatanan dunia, tapi yang harus diambil adalah ideologi Islam.

Masalah ideologi inilah akar masalah dari bangsa kita. Bangsa kita tak akan pernah bangkit jika tak mau mengusung ideologi Islam. Perubahan model apapun tak akan menyebabkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat jika tak membawa ideologi Islam. Kegagalan reformasi adalah di titik ini, para pejuang reformasi hanya bisa meruntuhkan satu kekuasaan tapi tak mampu memberikan solusi alternatif terhadap berbagai permasalahan bangsa ini.

Sekarang marilah kita, mahasiswa, menyuarakan perubahan mendasar bagi bangsa ini, perubahan yang fundamental dan radikal, bukan reformasi tapi revolusi bagi bangsa ini, yaitu revolusi Islam. Mari kita bersama-sama usung ideologi Islam, kita jadikan ideologi Islam sebagai landasan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita. Marilah mahasiswa, buktikan bahwa kita benar-benar agent of change. Buktikan bahwa kita masih hidup dan bernafas, buktikan bahwa kita masih mampu berteriak…Hidup mahasiswa!!! Allahu Akbar!!!

Banjarmasin, 1 April 2008
Muhammad Abduh
Read On 0 komentar

Pantaskah Sekularisme Kita Terima?

Kamis, November 27, 2008

Sekularisme sebagai sebuah ideologi yang sekarang ini begitu mewabah sebenarnya telah lama hidup di bumi ini. Pada abad pertengahan yang disebut sebagai zaman kegelapan Eropa, negara-negara di Eropa disetir oleh kaum agamawan (para pendeta dan pastur) yang berkuasa dengan mengatasnamakan Tuhan. Sebelum abad ke-13, hanya pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan, kultur serta prestise tertinggi bahkan para pengurus gereja dan biara tinggi kebanyakan juga adalah para bangsawan dan tuan tanah.

Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja semuanya ditentang bahkan diberangus dengan alasan “pembasmian terhadap heretik (bid’ah)”. Banyak tokoh yang mati dibunuh karena penemuannya bertentangan dengan ajaran yang dibawa pihak gereja, Galileo contohnya. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan bagian bumi lain pada masa itu, yaitu bagian yang dikuasai Daulah Islam. Negara tersebut sangat maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban.

Berdasarkan berbagai fakta diatas, banyak kaum cendekiawan pada masa itu yang menganggap bahwa terpuruknya Eropa adalah karena dominannya kekuasaan gereja dalam urusan kehidupan mereka. Sehingga banyak bermunculan para kaum rasionalis yang berusaha menentang dominasi gereja dengan cara melakukan berbagai protes terhadap kebijakan feodal gereja, serta arogansi para pendeta. Inilah awal berdirinya sekularisme.

Pada abad ke-16 terjadi kesepakatan antara kaum gerejawan dan cendekiawan. Abad ini disebut sebagai babak kelahiran baru (renaissance) Eropa sejak berakhirnya masa kejayaan Yunani. Dominasi gereja berhasil diruntuhkan dan hanya diberi lahan yang sempit yaitu di ranah privat. Otoritas agama (gereja) dipisahkan dari urusan negara. Kaum gerejawan hanya dibolehkan untuk berada di kawasan spiritual tanpa boleh ikut mencampuri urusan politik.

Periode renaissance –dengan semangat menolak religiusitas– telah menimbulkan reaksi yang sangat hebat dan berantai. Hampir di seluruh kehidupan terjadi perubahan radikal dan menimbulkan efek contagion (penularan). Munculnya teolog-teolog yang mengemukakan ide-ide liberal dengan ciri khasnya yaitu berusaha menempatkan agama di wilayah privat serta membebaskan dunia dari agnostisisme intelektual. Agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang realita terakhir. Tidak hanya sampai disitu, kaum filosof mulai mengemukakan gagasan sekularisme dengan mainframe isu “kematian Tuhan”, rasionalisme, dan keadilan. Peradaban yang antroposentris (berpusat pada manusia), materialisme, humanisme, eksistensialisme, rasionalisme, pragmatisme dan sebagainya merupakan dampak susulan dari proses sekularisasi pada abad pertengahan.

Di bidang pemerintahan, lahirlah paham demokrasi, yang bertujuan untuk membatasi wewenang absolut raja. Menurut paham ini kekuasaan dan kebenaran adalah milik mayoritas. Munculnya trias politika yang sangat terkenal dengan pembagian kekuasaan negara dalam tiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif juga berasal dari paham demokrasi.

Di bidang ekonomi, sekularisme melahirkan kapitalisme. Memang, percepatan pertumbuhan ekonomi yang diperlihatkan oleh sistem kapitalis sangat mengagumkan, namun dilihat dari sisi distribusi, prestasi kapitalis dalam menimbulkan kesenjangan ekonomi ‘lebih mengagumkan’ lagi. Efek depedensia (kebergantungan) akibat diterapkan sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa dihindarkan. Kekayaan akan terus mengalir dan tersedot ke arah negara-negara kapitalis raksasa serta para pemilik modal.

Dalam perkembangannya, sekularisme tidak hanya berkembang di kawasan Eropa dan Amerika yang notabene sebagian besar dihuni oleh non Muslim, tetapi sekularisme juga ikut dipaksakan di negeri-negeri kaum Muslimin. Contoh sekularisasi yang paling nyata adalah Turki. Sejak runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada tahun 1924, di Turki telah terjadi proses sekularisasi secara besar-besaran. Sejak dihapuskannya sistem Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924, Kementrian Syariah dan Wakaf dihapuskan. Kemudian, jabatan Syaikhul Islam dihapuskan dan semua sekolah keagamaan ditutup. Pada tahun 1925, penguasa sekuler Turki mengeluarkan sebuah keputusan yang berisikan larangan memakai pakaian agama oleh orang yang tidak memegang jabatan keagamaan. Pada tanggal 4 Oktober 1926 mulai diberlakukan undang-undang sipil Turki yang diadopsi dari undang-undang sipil Swiss, undang-undang ini digunakan untuk mengganti undang-undang sipil dari syariah. Poligami dilarang. Perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki kafir dibolehkan. Semua orang yang sudah dewasa diberi hak untuk mengubah agama mereka, bila mereka mau. Pada tahun 1928, dikeluarkan peraturan wajibnya menggunakan tulisan latin bagi bangsa Turki. Pada tahun 1932 dikeluarkan peraturan yang lebih mengerikan yaitu azan harus menggunakan bahasa Turki, dan diteruskan oleh peraturan yang menyatakan azan dengan bahasa Arab adalah sebuah pelanggaran pada tahun 1933.

Tidak jauh berbeda dengan Turki, di negeri-negeri Islam lain juga diberlakukan sekularisasi. Hukum-hukum publik Islam, mulai hukum pidana, perdata, pendidikan, pergaulan, waris dan lain-lain telah dihapus dari hukum negara. Walaupun ada sebagian negeri Islam yang masih menggunakan sistem pidana Islam, dalam aspek-aspek publik lainnya mereka masih menggunakan aturan-aturan Barat.

Setelah sekularisme mewabah di negeri-negeri kaum Muslimin, bukan kemajuan dan kebangkitan yang didapat, malah mereka semakin lemah dan terpuruk. Keberagamaan hanya direfleksikan dalam wilayah privat, tanpa menyentuh ruang publik. Dari sisi politik, mereka dikuasai dan tidak berdaya menghadapi kekuatan kaum kafir. Singkat kata, sekularisme telah menghancur leburkan kekuatan kaum Muslimin. Sekarang, masihkah kita berharap terhadap sekularisme?

Jika sebuah ide telah begitu menggurita, maka pasti akan sangat sulit untuk melepaskan belenggu tersebut darinya. Apalagi umat Islam sudah sangat suka dengan tata kehidupan yang sangat sekularistik tersebut. Sebaliknya, mereka sangat takut bila tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini diatur oleh syariat Islam. Mereka beranggapan syariat Islam sudah tidak relevan lagi untuk kondisi masyarakat nasional dan internasional saat ini, yang sudah semakin maju, modern, majemuk dan pluralis. Mereka khawatir, jika syariat Islam diterapkan akan muncul konflik baru, terjadinya disintegrasi bangsa, pelanggaran HAM, dan mengganggu kerukunan antar umat beragama.

Untuk menjawab kekhawatiran mereka, ada dua hal yang bisa dikemukakan. Yang pertama adalah fakta historis, bahwa ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah pada zaman Nabi dan pada masa kekhilafahan, umat Islam menjadi umat yang terdepan. Keunggulan syariat Islam pada masa itu benar-benar nyata dan hal itu berlangsung selama berabad-abad. Dan yang hidup di dalam naungan syariat Islam tersebut bukan hanya umat Islam, tetapi juga banyak yang non Muslim (kafir dzimmi), dan mereka mendapatkan hak yang sama dengan kaum Muslimin (Silakan baca semua literatur yang menceritakan kehidupan Islam pada zaman Nabi dan kekhilafahan).

Hal kedua dan yang paling penting untuk dikemukakan adalah dalil al-Qur’an. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Q.S. al-Baqarah: 208). “Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah dari apa yang kalian perbuat” (Q.S. al-Baqarah: 85).

Dua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah mengharamkan sekularisme dan mengancam dengan siksa yang pedih bagi penganutnya. Sekularisme pada ayat diatas tampak dari ungkapan ‘mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya’. Hal ini terlihat dari penganut paham ini, mereka hanya mengimani dan melaksanakan syariat Islam yang mengatur masalah individu dengan Tuhannya sedangkan masalah yang berkaitan dengan ranah publik tidak mereka imani atau laksanakan.

Sekularisme pantas muncul dan berkembang di Eropa, karena agama Kristen yang mereka anut memang tak punya aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan perlu aturan baru yang tidak berasal dari agama tersebut. Agama Kristen pantas diletakkan hanya di wilayah privat individu penganutnya, dan tidak digunakan di wilayah publik. Para pendeta dan pastur memang layak hanya berbicara di gereja dan dilarang membicarakan masalah politik, sosial dan ekonomi dan masalah keduniawian lainnya.

Akan tetapi, hal itu menjadi keliru bila diterapkan pada Islam. Islam tidak seperti agama lainnya, Islam merupakan dien yang komprehensif, mengatur seluruh urusan manusia, baik urusannya dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia. Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah, tapi juga muamalah termasuk ekonomi, sosial, budaya dan politik. Islam merupakan sebuah mabda (ideologi) yang menjadi way of life bagi pemeluknya.

Sekarang, sebagai umat Islam, pantaskah kita menerima sekularisme dan meninggalkan dien kita sendiri? Kita sendirilah yang bisa menjawabnya.

Banjarmasin, 1 Agustus 2007
Muhammad Abduh
Read On 1 komentar

Mewaspadai Upaya Penghancuran Islam

Kamis, November 27, 2008

Tanpa disadari oleh sebagian besar umat Islam, upaya penghancuran Islam telah lama dilakukan oleh Barat. Upaya tersebut merupakan skenario Barat yang sistematis sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang. Islam dan umat Islam yang dulu berjaya dan menjadi adidaya dunia dengan Khilafah Islam, menimbulkan ketidaksenangan dari Barat yang memang memiliki millah atau way of life yang berbeda dengan Islam.

Dan tidak akan pernah ridha orang-orang Yahudi dan Nasrani hingga kalian (umat Islam) mengikuti millah mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120).

Skenario Barat untuk menghancurkan Islam tersebut antara lain tampak dalam 4 kategori: Pertama, Serangan militer. Serangan ini bertujuan untuk menghancurkan benteng fisik yang melindungi Islam. Perang Salib yang berkepanjangan, disertai dengan penyusupan agen-agen mereka ke Khilafah Utsmaniyah untuk menyebarkan paham-paham yang mengakibatkan umat tidak lagi berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, adalah diantara cara mereka untuk meluluhlantakkan bangunan fisik Khilafah Islam. Dengan hancurnya benteng fisik ini maka tidak ada lagi kekuatan yang akan melindungi Islam dan umatnya.

Setelah Khilafah Islamiyah hancur, Barat melanjutkan strateginya dengan memecah-belah Khilafah menjadi lebih dari 50 negara kecil. Tujuannya adalah agar umat Islam menjadi lemah sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan untuk melawan Barat.

Kedua, Serangan Pemikiran (al-Ghazw al-Fikri). Setelah umat Islam dikotak-kotakkan dalam negeri-negeri kecil, selanjutnya Barat menyebarkan racun pemikiran ke tengah-tengah umat Islam. Paham-paham batil seperti Demokrasi, HAM, Gender, Pluralisme, dan lain-lain terus dipaksakan untuk diterima oleh umat Islam. Pada awalnya paham-paham sesat ini berhasil membius umat Islam sehingga dengan pasrah tanpa ada perlawanan sedikitpun mereka menerima dengan bulat apa yang disuapkan oleh Barat tersebut. Namun, kenyataan menunjukkan: demokrasi hanyalah bualan Barat, HAM tidak untuk kaum Muslim, pluralisme hanya alat untuk mengabsahkan kebatilan. Bahkan, belum ada sejarah negeri-negeri yang dengan ’bersungguh-sungguh’ menerapkan demokrasi hingga saat ini berhasil membangun kemodernan yang beradab. Yang ada, dunia Islam justru bergantung pada Barat (AS).

Pemikiran-pemikiran sesat tersebut sekarang sudah banyak disadari sebagai racun yang diberikan oleh Barat kepada umat Islam. Pemikiran tersebut hanya membawa kepentingan dan selalu berpihak pada AS dan kroni-kroninya. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan salah satu alat mereka untuk menjajah umat Islam.

Ketiga, Menafsirkan Islam dengan Ideologi Kapitalisme. Setelah serangan pemikiran, upaya penghancuran Islam dilanjutkan dengan mencoba menafsirkan Islam dengan ideologi Kapitalisme. Mereka mengambil pendapat-pendapat yang seolah-olah berasal dari Islam namun hakikatnya berasal dari mereka sendiri (Barat). Misalnya, agama dikategorikan sebagai produk budaya. Dengan pengertian ini, agama diartikan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang paling tinggi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat kehidupan. Konsekuensinya, agama tidak lagi mengandung kebenaran mutlak. Agama bisa ditafsirkan dan disesuaikan dengan kondisi dan zaman. Sebab, bisa jadi apa yang tertulis pada kitab-kitab suci adalah sesuai dengan kondisi saat itu, bukan untuk sekarang.

Muncullah tafsir terhadap al-Qur’an yang disesuaikan dengan hawa nafsu dan kepentingan sang penafsirnya. Penafsiran al-Qur’an akhirnya bebas (liberal) tak terkendali sesuai dengan nilai-nilai kapitalisme sekuler.

Keempat, Liberalisasi Ibadah. Tujuannya adalah agar dalam masalah ibadah pun umat Islam bersikap bebas. Kalaupun ada orang yang jelas-jelas berbuat menyimpang dari syariat, maka umat minimal menganggapnya sebagai sebuah perbedaan yang harus disikapi secara wajar dan ditoleransi.

Karena itu, kasus imam shalat Jum’at wanita yang dipelopori oleh Aminah Wadud, adanya nabi palsu di Sulawesi Tenggara yang mengajarkan bahwa berhaji tidak perlu ke Makkah, shalat dengan disertai terjemahan oleh Muhammad Yusman Roy, dan entah penyimpangan apa lagi akan senantiasa dimunculkan dan dipelihara. Tujuannya antara lain untuk menyibukkan umat Islam. Dengan begitu, energi umat Islam yang sejatinya ditujukan untuk perjuangan ke depan menerapkan syariat Islam secara kaffah menjadi terkuras. Kenyataan ini sejak dulu telah diberitahukan oleh Nabi Muhammad SAW:

Sungguh, akan terlepas aturan dan syiar Islam (’ura al-Islam) sehelai demi sehelai. Ketika terlepas suatu aturan, manusia akan bergantung pada aturan berikutnya. Awal dari ’ura al-Islam tersebut adalah al-hukm (hukum, pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat." (HR. Ahmad).

Selama kita masih tinggal diam terhadap berbagai upaya penghancuran Islam yang dilakukan oleh Barat tersebut, maka bukan tidak mungkin di tanah yang kita injak sekarang puluhan tahun kemudian sudah tidak ada lagi orang yang menganut Islam. Mari kita sama-sama berjuang untuk melawan upaya Barat tersebut dengan menyerukan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Hanya Khilafah lah yang mampu melawan Barat, dan Insya Allah akan menghancurkan dan meluluhlantakkan kesombongan mereka. Waktu itu, sesuai janji Allah SWT, Insya Allah tidak akan lama lagi.

Banjarmasin, 1 Desember 2007
Muhammad Abduh
Read On 0 komentar

Followers


Labels

Recent Posts

Recent Comments

Recent Comments